MONEY POLITIK, “ADA NANG DITIMPASAKAN”

SuaraOne Banjarmasin Kalsel —Seorang caleg bercerita, bahwa warga menganggap semua caleg punya duit. Katanya, kalau tidak punya duit, tidak mungkin berani jadi caleg. Jadi, hanya yang memiliki kemapanan finansial layaknya “orang kaya raya”, itulah yang pantas menjadi caleg. Bukan yang punya pengalaman, pengetahuan, apalagi integritas dan komitmen.

Karena ukurannya semata duit, siapa yang berani membayar itulah yang mendapat suara. Sekedar menyampaikan visi – misi – program, tidak menarik didengarkan.

Bahkan, komitmen, kontrak politik yang dulu dianggap ideal, sudah tidak dipercaya lagi. Semua mengaku bahwa di daerahnya ukurannya hanya uang, bukan yang lain. Ada uang, ada suara. Tidak ada uang, “bulik liur wara”.

Baca Juga:  Donasi Korban Kebakaran Rumah Di Simangambat Diserahkan

Akhirnya caleg mencari sponsor. Menghamba kepada bohir yang paling banyak duitnya. Makin dekat dengan sang bohir, makin membanggakan, menggambarkan kemapanan dan ketercukupan finansial.

Tapi, tentu tidak ada makan siang gratis. Pada akhirnya caleg menjadi alat dari sang bohir, pengabdiannya tertuju ke sana, bukan kepada warga yang memilihnya. Sebab warga sudah dibayar kontan dengan money politik.

Semua kenyataan ini tentu sangat merugikan. Selain hasil Pemilu tidak semakin berkualitas, juga kesejahtraan yang diharapkan tidak akan kunjung datang. Sebab orientasi dari semua yang terlibat hanya uang. Selebihnya hanya “kepalsuan” yang disuburkan.

Baca Juga:  Keluarga Besar Media Online Suara Global Ucapkan Selamat Hari Natal 2023 dan Tahun Baru 2024

Tahukah, bahwa sebenarnya kebudayaan Banjar curiga terhadap orang yang tiba-tiba royal dengan ungkapan “ada nang ditimpasakan”.

Bahwa dibalik sifat royal, pasti ada yang menjadi sponsor, dan mengandung konsekuensi pada pihak yang memiliki alat “timpasan”. Kecurigaan itu memunculkan pertanyaan kritis. Kenapa mesti menggunakan uang? Dari mana uang didapatkan? Siapa sponsornya dan apa kepentingannya? Apa yang sudah dijanjikan dan dipertaruhkan?

Karenanya, jangan bangga dengan money politik, walau “ada nang ditimpasakan”, pasti ada harga yang harus dibayar. (nm)
(Ambin Demokrasi)

Oleh: Noorhalis Majid